PANGKALPINANG, SEPUTARINDONESIA – Sejumlah elemen masyarakat sipil di Bangka Belitung menyampaikan sikap mereka terkait kasus korupsi tata niaga timah yang mencapai Rp300 triliun. Pernyataan sikap ini disampaikan dalam sebuah petisi yang dibacakan di DPRD Babel pada Senin, (24/02/2025).
Aksi ini merupakan tindak lanjut dari Forum Group Discussion (FGD) sebelumnya yang membahas dampak kasus tersebut terhadap lingkungan dan masyarakat.
Ketua DPRD Bangka Belitung, Didit Srigusjaya, menegaskan bahwa DPRD akan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
“Mereka menyampaikan beberapa pokok permasalahan secara umum, bahwa mereka minta permasalahan lingkungan ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah, baik DPRD maupun provinsi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa meskipun ada kewenangan yang berada di tingkat pusat, DPRD tetap akan meneruskan aspirasi tersebut.
“Mana-mana yang menjadi kewenangan DPRD, akan kami tindak lanjuti sesuai fungsi kami. Yang bukan kewenangan kami, akan kami teruskan kepada pihak yang berwenang,” kata Didit.
Sementara itu, Ahmad Subhan Hafiz dari Koalisi Masyarakat Sipil Bangka Belitung menyoroti isu kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan.
“Walhi mendesak untuk stop kriminalisasi aktivis, pejuang lingkungan, serta ahli yang sedang menjalani tugasnya di persidangan. Dalam konteks penegakan hukum, ahli tidak bisa dipidana maupun digugat secara perdata, dan itu harus dihormati,” tegasnya.
Ia juga menyinggung mekanisme anti-SLAPP yang harus diterapkan untuk melindungi pejuang lingkungan dari kriminalisasi.
“Kita ada mekanisme yang namanya anti-SLAPP, yang bertujuan untuk melindungi aktivis dari kriminalisasi saat mereka berjuang atas hak lingkungan, hak atas tanah, dan hak atas masa depan,” jelasnya.
Selain itu, Ahmad Subhan juga mendesak adanya moratorium pertambangan timah di Bangka Belitung.
“Agenda moratorium pertambangan itu yang pertama, stop izin-izin baru. Kedua, evaluasi seluruh izin yang bermasalah yang menyebabkan konflik dan kerusakan lingkungan. Ketiga, percepat restorasi lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa saat ini ada lebih dari 12.600 lubang tambang yang belum direklamasi dan lebih dari 167.000 hektare lahan kritis yang harus segera dipulihkan.
“Karena kita tahu bahwa hari ini ada 12.607 lubang tambang yang tidak direklamasi. Kemudian juga sekitar 167.000 hektare lahan kritis di Kepulauan Bangka Belitung, dan ini yang mesti segera dilakukan pemulihan,” katanya.
Masyarakat sipil juga mendesak Presiden untuk membentuk badan pemulihan ekologis guna mempercepat restorasi lingkungan yang rusak akibat pertambangan.
“Hari ini Bangka Belitung mengalami beragam bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, serta meningkatnya konflik antara manusia dan buaya muara akibat rusaknya habitat mereka. Dalam dua bulan terakhir, sudah ada empat korban meninggal akibat konflik ini,” jelas Ahmad Subhan.
Selain ancaman terhadap lingkungan, lubang-lubang tambang yang belum direklamasi juga berdampak langsung pada kesehatan dan keselamatan warga.
“Lubang tambang yang tidak direklamasi menyebabkan banyak bencana, mulai dari anak-anak yang meninggal di lubang bekas tambang hingga meningkatnya kasus penyakit kulit,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa dana dari hasil penegakan hukum terhadap kasus korupsi timah harus dialokasikan untuk pemulihan lingkungan.
“Uang hasil dari proses penegakan hukum itu harus dikembalikan dalam bentuk pemulihan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung,” tutupnya. (Maulana).