SEPUTARINDONESIA.Id- TNI AD berencana merekrut 24.000 calon prajurit Tamtama pada 2025. Namun kali ini, mereka tidak disiapkan untuk perang, melainkan untuk mengurus pertanian, peternakan, layanan medis, dan pembangunan infrastruktur sipil.
Mereka akan membentuk Batalyon Teritorial Pembangunan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Empat kompi: Pertanian, Peternakan, Medis, dan Zeni.
Niatnya mulia: Agar TNI tak hanya siap tempur, tapi juga hadir dalam pembangunan, membantu rakyat, memperkuat ketahanan pangan.
Namun niat baik harus dijalankan dengan langkah benar. Agar tidak menyimpang dari aturan negara
Pelanggaran Subtil Terhadap Fungsi Konstitusional:
TNI adalah prajurit pertahanan negara, bukan lembaga pembangunan sipil.
Tugas utama mereka sesuai UUD 1945 dan UU TNI adalah:
Menjaga kedaulatan
Melindungi keutuhan wilayah
Menangkal dan melawan ancaman militer
Mengapa dibuat mengurus sawah dan ternak? Ini bukan hanya persoalan teknis. Ini soal prinsip “civil supremacy” prinsip dasar demokrasi, bahwa urusan sipil harus dijalankan oleh warga sipil, bukan militer.
Bahaya Laten Militerisme Gaya Baru, Jika TNI mulai masuk ke sektor sipil seperti pertanian, medis, bahkan infrastruktur, maka:
1. Fungsi sipil akan “dibajak militer”, meminggirkan peran profesional dan warga biasa.
2. Anggaran pertahanan bisa dialihkan ke proyek-proyek non-militer, “tanpa kontrol sipil yang ketat”.
3. Lama-lama, masyarakat tidak bisa membedakan mana negara demokratis, mana negara semi-militeristik.
Ini seperti memakai tank untuk membajak sawah. Tidak efisien. Tidak pada tempatnya.
Lalu, Ke Mana Peran Warga Sipil? Ketahanan pangan? Itu tugas “Kementerian Pertanian”: petani, dan penyuluh.
Kesehatan? Ada “Kemenkes”: tenaga medis sipil, dan relawan kemanusiaan.
Infrastruktur? Tanggung jawab “PU”: insinyur, arsitek, dan masyarakat lokal.
Maka yang harus direkrut bukan ribuan prajurit, tetapi tenaga ahli pertanian dan peternakan.
Jika ketahanan nasional adalah alasan, maka membangun “kemandirian sipil yang kuat” jauh lebih strategis daripada menyerahkan semuanya pada TNI.
Kita tidak menolak peran TNI dalam membantu rakyat saat bencana atau keadaan darurat. Itu fungsi perbantuan, bukan fungsi utama. Namun menjadikan TNI sebagai aktor utama dalam pembangunan sipil adalah penyimpangan yang bisa membahayakan demokrasi dan melemahkan warga sipil.
Jika memang kita ingin memperkuat ketahanan pangan dan kesehatan, perkuat rakyat, bukan militerisasi kan rakyat. TNI memang Harus Dikuatkan, tapi Bukan berarti boleh Dibelokkan.
KESIMPULAN:
Niat baik harus dibarengi kesesuaian konstitusional.
Jangan jadikan militer sebagai solusi atas kegagalan sipil.
Demokrasi sehat hanya bisa tumbuh jika militer tetap di barak, bukan di sawah dan klinik.
“Negara kuat bukan karena tentaranya mengurus pertanian, tapi karena rakyatnya diberdayakan dan dipimpin dengan adil.”
Kenapa disekolah tidak di ajarkan cara berpikir yang benar, orang yang cacat logika seharusnya tidak boleh diberi panggung dalam bernegara. Apa lagi orang yang tidak paham hukum sistem negara nya.
Sebab itu akan membuat kesesatan dalam menjelaskan hukum sistem negara. Di Indonesia ini banyak sekali penyimpangan hukum sebab banyak orang diberi panggung namun tidak waras dalam berfikir dan rakyat nya juga tidak paham hukum sistem negara.
Kalo seperti itu terus maka wajar saja kalau sistem negara ini berantakan. Sebab tidak ada yang kritis dan mengoreksi kesalahan dalam berfikir dan menjalankan peran dalam bernegara.
Kriti ini sangat penting dan menyentuh akar dari banyak persoalan bangsa: “minimnya pendidikan berpikir logis dan pemahaman sistem bernegara”. Ini beberapa poin reflektif dan analitis untuk memperkuat gagasanmu:
1.Pendidikan yang Tidak Mengajarkan Cara Berpikir
Sistem pendidikan kita lebih banyak menghafal, bukan menganalisis. Siswa diajarkan apa yang harus dipikirkan, bukan bagaimana berpikir. Akibatnya:
-Banyak lulusan yang bingung membedakan “fakta dan opini”.
-Tidak mampu melihat “cacat logika (logical fallacies)” dalam argumen publik.
– Mudah terseret opini tokoh, bukan karena kuatnya argumen, tapi karena jabatan atau popularitas.
Padahal, berpikir logis dan kritis adalah fondasi demokrasi yang sehat.
2.Panggung Politik yang Tidak Diisi Orang Rasional
Seharusnya, “berpikir jernih dan paham hukum” adalah syarat utama seorang pemimpin. Tapi yang sering terjadi:
– Orang yang hanya lantang bicara tanpa pemahaman diberi panggung.
– Yang rasional dan tenang sering dianggap “tidak atraktif secara politik”.
– Akibatnya, hukum dijelaskan sembarangan, disesuaikan dengan kepentingan, bukan kebenaran.
Ini menghasilkan “disinformasi publik”, dan rakyat makin jauh dari pemahaman tentang sistem yang seharusnya mereka jaga.
3. Rakyat Tidak Paham Sistem, Tapi Diminta Patuh
Ini kontradiktif. Bagaimana mungkin rakyat bisa:
– Menuntut keadilan,
– Menjalankan kewajiban,
– Mengkritik pemerintah,
jika mereka tidak diajari bagaimana hukum bekerja dan mengapa sistem dibuat seperti itu?
Yang terjadi justru sebaliknya: rakyat diajari untuk taat, tapi bukan untuk memahami dan mengoreksi.
4.Akibat: Negara yang Semrawut dan Oligarki
Tanpa kesadaran hukum dan logika publik, kekuasaan diambil oleh mereka yang paling lihai memanipulasi.
Penyimpangan hukum dianggap wajar karena “yang penting hasil”.
Demokrasi jadi formalitas; isinya bukan lagi akal sehat rakyat, tapi akal-akalan elite.
Solusi yang Seharusnya Didorong:
1.Revolusi Pendidikan:
Ajarkan “logika dasar”, “fallacy”, “etika berpikir”, dan struktur argumen sejak dini.
2.Literasi Konstitusi dan Sistem Negara:
Rakyat tidak boleh buta terhadap Undang-Undang Dasar, sistem trias politica, fungsi lembaga, dan hak-hak sipil.
3.Panggung untuk yang Rasional:
Kita butuh media dan ruang publik yang mempromosikan “substansi”, bukan “sensasi”.
Gimana negara mau maju kalo yang menjalankan orang tidak waras dan tidak paham sistem hukum negara.