Home / Bangka Belitung / Opini

Kamis, 5 Juni 2025 - 14:21 WIB

“Hentikan Polusi Plastik”, Seharusnya Bukan Hanya Slogan

Refa Riskiana, S.Si., M.Si

Refa Riskiana, S.Si., M.Si

Oleh : Refa Riskiana, S.Si., M.Si

SEPUTARINDONESIA- Tanggal 05 Juni 1972 merupakan salah satu momen penting dalam sejarah panjang pengelolaan lingkungan hidup di dunia. Pada tanggal tersebut, Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) mengadakan konfrensi Lingkungan Hidup Manusia yang dihadiri oleh lebih dari 100 negara yang dilangsungkan di Stockholm, Swedia.

Konfrensi tersebut menghasilkan 26 prinsip mengenai lingkungan dan Pembangunan, salah satunya menekankan bahwa salah satu hak asasi manusia adalah hak atas lingkungan yang sehat dan berkualitas. Pada konfrensi tersebut juga disepakati pembentukan badan PBB di bidang lingkungan hidup yaitu UNEP (United Nation Environment Programme).

Konfrensi ini menjadi titik tolak kesadaran global tentang pentingnya menjaga lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Dan seterusnya tanggal 05 Juni diperingati sebagai hari lingkungan hidup sedunia (World environment day). Dan pada tahun 2025 ini, peringatan hari lingkungan hidup diunia mengambil tema “beat plastic pollution” yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “hentikan polusi plastic”.

Pemilihan polusi plastic sebagai tema peringatan hari lingkungan hidup dunia tentu bukan tanpa alasan. Mengingat sampah plastic merupakan kenyataan pahit yang harus kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Estimasi global menyebutkan bahwa dunia menghasilkan sekitar 350 juta ton sampah plastic setiap tahun, bahkan beberapa informasi menyebutkan bahwa negara kita Republik Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar sampah plastic, yang menghasilkan 3,4 juta ton sampah plastic. Bagaimana dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung? Data dalam situs SIPSN milik Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa komposisi sampah plastic di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 15,84%. Suatu angka yang tidak bisa dipandang ringan.

Plastik pertama kali di produksi pada era tahun 1950-an, dan terus menglami peningkatan produksi dari tahun ke tahun. Sistem produksi massal, ongkos produksi dan harga jual yang murah serta berbagai sifat unggul plastic yang tahan lama, kuat, mudah dibentuk dan mudah diwarnai menjadikan plastic sebagai salah satu material yang banyak diminati. Oleh karenanya tak heran apabila plastic banyak digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari.

Mulai dari piranti elektronik, furniture, bahan kontruksi, bahan pakaian hingga bahan pembungkus dibuat dari plastic. Mengingat luasnya penggunaan dan tingginya produksi plastic, banyak sudah dilakukan penelitian dan ujicoba pembuatan plastic dari bahan alami ramah lingkungan, misalnya singkong, pati sagu. Namun laporan PlasticEurope pada tahun 2018 menyebutkan bahwa hingga saat ini Sebagian besar plastic yang di produksi berasal dari turunan bahan bakar fossil. Dalam proses produksinya kemudian di tambahkan berbagai senyawa kimia aditif untuk memperbaiki sifat plastic sehingga menjadi lentur, tidak berbau bahan bakar, elastis , kuat, dan lain lain .

Bahan aditif yag ditambahkan selama proses produksi plastic ini merupakan bahan kimia dari golongan POP (polutan organic persisten) yaitu bahan kimia yang dapat terakumulasi dan bertahan lama dilingkungan. Bahan kimia jenis ini berisfat toksik (berbahaya bagi Kesehatan manusia dan lingkungan), dapat terakumulasi dalam jaringan hidup (bioakumulatif), dan perseisten atau mampu bertahan lama.

Plastik itu sendiri merupakan polimer yang tidak bisa hancur secara biologis, namun plastic akan rusak oleh sinar UV, dan energi mekanis lainnya menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil bahkan berukuran mikro (mikroplastik). Dan pada saat plastic ini sudah terurai menjadi fragmen atau potongan yang lebih kecil, maka bahan-bahan kimia toksik yang terdapat didalamnya akan turut mencemari lingkungan tempat plastic itu berada.

Saat plastic tersebut terfrgamentasi di tanah, maka bahan polutan organic persisten (POP) yang terkandung didalamnya akan mencemari tanah, dan begitu pula saat fragmen-fragmens plastic tersebut tersebar di perairan, maka maka bahan polutan organic persisten (POP) yang terkandung didalamnya akan pula mencemari air. Dan pada saat plastic tersebut dibakar secara terbuka, maka bahan kimia tersebut dapat terlepas ke udara bebas dan mencemari udara serta terhirup oleh mahluk hidup.

Bahkan potongan plastic dalam ukuran mikro (mikroplastik) dapat tertelan oleh berbagai biota termasuk ikan, udang, burung, dll. Selanjutnya saat biota ini dikonsumsi oleh manusia, maka plastic berukuran plastic berukuran mikro tersebut juga dapat berpindah ke dalam tubuh manusia.

Bukan hanya fragmen mikroplastik-nya saja, tentu dengan semua bahan kimia polutan organic persisten yang terkandung didalamnya. Keberadaan plastic berukuran mikro ini dalam tubuh biota perairan, burung, bahkan manusia sudah banyak dilaporkan oleh peneliti.

Misalnya dalam penelitian oleh Pernanda. A, dkk (2024) yang menemukan partikel mikroplastik pada air dan kerang kijing di Sungai Dudat, penelitian Pratiwi FD, dkk (2023) yang menemukan kontaminasi mikroplastik pada kerang konsumsi yang berasal dari beberapa wilayah di Bangka Belitung. Serta banyak penelitian lainnya yang menunjukkan adanya mikroplastik pada biota serta manusia.

Penyerapan partikel plastic berukuran mikro pada biota ini akan menimbulkan berbagai dampak negative, mula dari gangguan penyerapan nutrisi yang memicu gangguan metabolisme hingga menimbulkan gangguan pada system reproduksi.

Mencegah masuknya partikel plastic berukuran mikro ke media lingkungan, baik tanah, air dan udara merupakan upaya yang belum dapat dilakukan. Mengingat kecilnya ukuran partikel plastic yang terbentuk, sehingga belum ada filter yang cukup efektif untuk menyaring masuknya partikel tersebut ke lingkungan. Maka, hal yang paling mungkin dapat dilakukan adalah mencegah timbulnya sampah plastic tersebut di lingkungan.

Berbagai Upaya pencegahan masuknya sampah plastic ke lingkungan telah banyak dikampanyekan, misalnya dengan melakukan gerakan 3R yang dimulai dengan meminimalisasi sampah plastic yang dihasilkan.

Sebuah studi yang dilakukan di DAS Baturusa menunjukkan bahwa plastik yang paling banyak ditemukan adalah jenis polypropylene atau PP (kode : 05) dalam bentuk kemasan makanan instan, gelas minuman, sedotan, peralatan makan sekali pakai, botol saus, serta tutup botol.

Jenis-jenis sampah plastic ini merupakan jenis sampah yang berasal dari sektor domestic atau rumah tangga, dan merupakan jenis sampah plastic yang dapat kita hindari penggunaannya. Misalnya dengan membiasakan membawa wadah kemasan makanan dan minuman sendiri, menghindari penggunaan peralatan plastic sekali pakai (single used plastic), menghindari penggunaan sedotan plastic, dan lain lain.

Namun Langkah-langkah masyarakat mengurangi sampah plastic tersebut juga perlu diimbangi dengan usaha produsen barang dalam mengurangi penggunaan kemasan plastic, termasuk mendorong pengimplementasian EPR (extended producer responsibility) yang lebih massif. EPR (Extended Producer Responsibility) atau Tanggung Jawab Produsen yang di perluas adalah program yang bertujuan untuk membuat produsen bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari produk mereka diseluruh rantai produk, dari mulai desain sampai dengan pembuangan produk oleh konsumen (Setiawan A, 2023). EPR ini pernah diterapkan di Bangka Belitung di era kejayaan berbagai merek minuman soda local.

Dimana kemasan botol soda kosong dikembalikan ke pabrik produksi soda, dan digunakan kembalikan sebagai wadah kemasan minuman soda pada produksi berikutnya. Yang artinya, bahwa EPR itu bukanlah sesuatu yng mustahil untuk diterapkan, meskipun memerlukan upaya yang tidak sedikit.

Kearifan local yang bersumber dari kakayaan alam dam pernah diterapakan masyarakat di Bangka Belitung juga dapat mengurangi sampah plastic ini. Misalnya kebiasaan masyarakat menggunakan daun simpur dan daun pisang sebagai pembungkus makanan, dan pembungkus barang dagangan, perlu dimarakkan Kembali.

Bahkan produk kreatif ramah lingkungan seperti sedotan dari tanaman purun yang sempat naik daun dapat digalakkan kembali. Hal-hal ini perlu dilakukan secara luas oleh masyarakat, karena program pembersihan lingkungan dari sampah plastic tidak akan sanggup melawan banyaknya sampah plastic yang terus dihasilkan, dan tidak selamanya tempat pembuangan sampah akan mampu menampung sampah yang kita hasilkan. Dengan momen hari lingkungan hidup dunia tahun 2025 ini, tema “hentikan sampah plastic” seharusnya bukan hanya slogan, tapi merupakan aksi nyata yang diwujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Share :

Baca Juga

Bangka Belitung

Gubernur Erzaldi Ingatkan Untuk Memegang Ideologi Pancasila

Bangka Belitung

Tournamen Futsal DPRD Bangka Belitung Resmi Digelar

Bangka Belitung

Serap Aspirasi Pemuda Beltim Di Warkop, Beliadi : Pemuda Harus Jadi Pelopor Perekonomian

Bangka Belitung

H. Edy Junaedi Foe Sebarluaskan Perda Keterbukaan Informasi di Toboali

Berita

Luar Biasa, Bangka Tengah 5 Kali Berturut-Turut Mendapatkan Penghargaan Wajar Tanpa Pengecualian

Bangka Belitung

Ketua DPRD Herman Suhadi Hadir Di Halal Bihalal IPHI

Bangka Belitung

Gelar Kejuaraan Renang, PT Timah Bersama Polres Bangka Barat Kolaborasi Untuk Tingkatkan Prestasi Atlet

Bangka Belitung

Ramadhan Jadi Moment KNPI Babel Untuk Berbagi