PANGKALPINANG, SEPUTARINDONESIA.Id- Sorotan tajam kembali mengarah pada pelaksanaan Iuran Penyelenggaraan Pendidikan (IPP) di sejumlah sekolah di Bangka Belitung. Ketua DPRD Babel, Didit Srigusjaya, Pernyataan disampaikannya di ruang kerja Ketua DPRD, Pangkalpinang, Kamis, (02/05/2025).
menyampaikan keprihatinannya dan menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh agar sistem yang ada benar-benar berpihak kepada yang membutuhkan.
Didit mengungkapkan bahwa ia secara pribadi menemukan adanya siswa yatim piatu yang masih dibebani pembayaran iuran. Sebagai bentuk kepedulian, ia langsung membantu membayarkan iuran selama enam bulan.
“Saya menemukan di beberapa sekolah ada anak yatim yang masih membayar iuran. Dan Alhamdulillah waktu itu langsung saya bayar enam bulan. Itu fakta,” katanya.
Menurutnya, meski IPP punya dasar hukum—seperti PP No. 48 Tahun 2008, Perda No. 2 Tahun 2018, dan Pergub No. 78 Tahun 2017—bukan berarti sistem yang berjalan tak perlu dikaji ulang. Yang jadi titik tekan adalah soal rasa keadilan.
“Masa anak anggota dewan, anak kepala sekolah, anak ASN gratis, anak orang kaya gratis? Rasa keadilan di mana? Tapi bagi yang tidak mampu, yes, sepakat,” tegasnya.
Ia menjelaskan, IPP selama ini digunakan untuk banyak hal penting di sekolah—dari menggaji guru honorer hingga mendukung kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka dan karate. Bahkan ada guru-guru yang tak mendapat bayaran dari APBN maupun APBD.
“Ternyata mereka juga ada guru honorer yang tidak digaji dari APBN maupun APBD. Dari iuran itu, saya cek betul, ada guru bahasa Inggris, guru agama Protestan, dan lainnya,” ujarnya.
DPRD sendiri, kata Didit, sedang mendorong Komisi IV untuk turun langsung ke lapangan, mengumpulkan data akurat soal IPP ini. Sebab menurutnya, tak bisa lagi kebijakan hanya dibuat dari meja rapat tanpa tahu realitas di lapangan.
“DPRD akan mencari solusi sehingga apa yang dimaksud Pak Gubernur bisa terakomodir. Tapi satu sisi yang jadi problem di tingkat dewan guru juga harus terakomodir,” ucapnya.
Ia pun membagikan kisah dari kunjungannya ke salah satu SMA di Marawang, di mana seorang siswa mengaku tak bisa ujian karena tak sanggup bayar iuran.
“Contoh, saya kemarin ke SMA Marawang. Orang tuanya di Jawa. Anak ini bilang, ‘Pak, saya nggak bisa bayar. Saya harus nunggu tujuh bulan baru bisa ikut ujian’. Waktu itu saya bantu bayar,” ceritanya.
Didit memastikan pihaknya akan segera membahas persoalan ini dalam rapat anggaran bersama eksekutif. DPRD pun terbuka jika APBD memang memungkinkan untuk mengalokasikan dana tambahan demi memastikan siswa dari keluarga tidak mampu tetap bisa sekolah dengan layak.
“Kalau memang gratis, ya sudah. Kita cek APBD kita kuat atau tidak untuk bantu orang-orang yang benar-benar butuh. Karena iuran itu bukan hanya untuk guru honor, tapi juga untuk kebersihan sekolah,” tutup Didit. (MN)