PANGKALPINANG, SEPUTARINDONESIA.Id – Sudah bukan menjadi rahasia umum jika untuk menjadi seorang anggota legislatif atau DPR baik itu ditingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat harus mempunyai kekuatan finansial yang memadai.
Cost atau biaya politik yang kian mahal selalu menjadi alasan dari para wakil rakyat untuk melakukan berbagai cara supaya bisa mengembalikan modal kampanye nya dan mencari keuntungan setelah mendapatkan jabatan tersebut.
Padahal seperti yang diketahui, gaji wakil rakyat atau anggota DPR sudah cukup besar diberikan negara.
Besaran gaji pokok anggota DPR beserta tunjangannya tertuang dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015.
Gaji pokok anggota DPR juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, nomor 75 tahun 2000. Pasal 1 yang menjelaskan besarnya gaji ketua, wakil ketua, dan gaji pokok anggota DPR per bulan.
Namun, meskipun sudah banyak mendapatkan fasilitas yang didapat, seperti dari kegiatan pokok pikiran (Pokir) dan Gaji yang fantastis, tidak jarang terdengar anggota DPR baik itu di tingkat daerah maupun pusat, yang masih mengeluh.
Seperti info yang diterima media ini, ternyata di Provinsi Babel masih ada oknum wakil rakyat atau anggota DPRD yang meminta dan menanyakan terkait kegiatan atau proyek di organisasi perangkat daerah (OPD).
Padahal, tugas pokok dan fungsi anggota legislatif jelas, sudah diatur didalam undang- undang nomor 17 tahun tahun 2014, yang seharusnya bukanlah menjadi eksekutor dalam suatu kegiatan yang menjadi ranahnya pihak eksekutif.
Hal tersebut mendapat respon dari guru besar fakultas ilmu sosial dan politik yang juga sekaligus Rektor Universitas Bangka Belitung (UBB), Prof Dr Ibrahim MSi.
Menurut Ibrahim, seharusnya anggota legislatif bisa memahami apa yang sudah menjadi tupoksi mereka, yang tidak seharusnya menjadi bagian dari eksekutor atau eksekusi jalannya suatu pembangunan daerah.
“Kita berharap teman-teman legislatif bisa memainkan peran untuk kembali ke posisi itu, jangan justru mereka juga menjadi eksekutor, ruang Ini kan sudah terpisah, kalau memang temen-temen bermain di ranah legislatif maka konsenlah jangan ikut bermain dalam ranah eksekusi,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, kondisi tersebut dipicu oleh cosh politik yang cukup tinggi dan cost politik ini lah yang menyebabkan banyak inkumben berlomba-lomba untuk kembali meraih kemenangan di pemilu berikutnya.
“Itulah sisi buruk dari model demokrasi kita yang cenderung kapitalisasi, jadi kepitalisasi demokrasi itu kan menjadi bagian yang tidak terkendalikan dari proses politik kita yang mengandaikan proses Pemilu itu bisa berjalan, dan kandidat bisa menang kalau mereka punya uang,” jelas Rektor UBB itu.
Ia menegaskan, jika masih seperti ini mungkin masih butuh dua sampai tiga periode ke depan untuk bisa menyaksikan bagaimana pemilih dan kandidat bisa matang dalam berdemokrasi.
“Artinya kita berharap pemilih itu memilih berdasarkan rekam jejak analisa yang tajam pada pada figur bukan karena Pemberian atau bukan karena kampanye pencitraan yang dilakukan dalam waktu beberapa bulan atau berapa minggu sebelum pencoblosan. Dan itu sebetulnya menjadi kekhawatiran kita dari sisi gelap dari demokrasi yang berbasis kapital sehingga kecenderungan Kemudian dari demokrasi akan berubah menjadi duitokerasi,” tegasnya.(Renaldi).