Home / Berita / Daerah / Headline / Opini

Rabu, 25 Oktober 2023 - 12:38 WIB

Politik Dinasti dan Lampu Sein

Oleh. Marwan Alja’fari

SEPUTARINDONESIA– Beberapa waktu lalu, Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, menarik perhatian publik karena ia mengusung semua anggota keluarganya menjadi bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Publik menilai hal itu sebagai bentuk upaya membangun dinasti politik yang dapat merusak demokrasi.

Tidak berhenti sampai disitu, publik kembali dikejutkan dengan manuver politik yang dilakukan oleh salah satu putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang bergabung lalu langsung menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kaesang terjun ke dunia politik menyusul jejak ayahnya, kakaknya Gibran Rakabuming Raka, dan iparnya Boby Nasution. Hal ini juga dinilai publik sebagai bagian dari rencana untuk melanggengkan dinasti politik keluarganya.

Tidak lama setelah itu publik kembali di hebohkan dengan istilah politik dinasti dan dinasti politik yang belakangan ini, kembali ramai dibicarakan oleh masyarakat menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Istilah tersebut mencuat setelah Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) masuk dalam bursa calon wakil presiden (cawapres) pendamping calon presiden (capres) Prabowo Subianto.

Peluang Wali Kota Solo tersebut sebagai cawapres Prabowo semakin menguat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin adik ipar Jokowi memutuskan perubahan batas usia minimal capres-cawapres di Undang-Undang Pemilu. Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diputuskan menjadi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Sebelumnya, keikutsertaan Gibran dalam Pemilu 2024 terganjal aturan batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun dalam undang-undang tersebut. Setelah putusan MK, Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo akhirnya resmi mengumumkan Gibran sebagai cawapres. Pasangan Prabowo-Gibran rencananya akan mendaftar ke KPU pada Rabu (25/10/2023).

Dipilihnya Gibran sebagai cawapres Prabowo tersebut memunculkan anggapan Presiden Jokowi tengah membangun dinasti politik.

Lantas, apa yang dimaksud dengan politik dinasti dan dinasti politik? Menurut pengamat politik sekaligus Direktur Setara Institute, Halili Hasan mengatakan , istilah dinasti politik dan politik dinasti sama-sama bisa digunakan. Namun, ada perbedaan di antara keduanya.

“Politik dinasti itu lebih mirip dengan monarki, di mana politik ditentukan atau berorientasi untuk kepentingan keluarga tertentu saja.

Sementara dinasti politik adalah ikatan keluarga, baik keluarga inti atau keluarga besar, yang menguasai sistem politik di suatu negara.

Keluarga yang menerapkan dinasti politik menguasai kepemimpinan di legislatif (MPR, DPR, dan DPD), eksekutif (presiden, wakil presiden, dan menteri), dan/atau yudikatif (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial). Dinasti politik mirip seperti yang terjadi dalam politik Indonesia saat ini, dinasti politik tidak hanya berlaku saat seorang politikus sudah menjabat posisi yang sama dengan anggota keluarga lainnya.

akan tetapi saat ada politikus yang baru dicalonkan mengisi posisi politik tertentu, meskipun jabatannya tidak sama dengan jabatan anggota keluarganya, itu bisa juga disebut sebagai dinasti politk.

Menurut Halili Hasan , faktor yang menyebabkan dinasti politik bisa terjadi di suatu negara. “Pertama, karena kuatnya budaya patronase dan klientelistik di tengah-tengah masyarakat kita,

” artinya sistem politik di Indonesia membuat publik menganggap satu orang atau kelompok sebagai patron atau teladan. Posisi sebagai teladan itu diberikan juga kepada keluarganya, termasuk istri, anak, keponakan, menantu, dan relasi keluarga lainnya.

“Masyarakat awam yang memposisikan diri sebagai klien lalu akan mengikuti patron tersebut.

Faktor kedua, adalah tata kelola pelaksanaan pemilu dengan aturan yang mengistimewakan satu tokoh. Misalnya, penetapan ambang batas seseorang bisa dipilih. “Ambang batas itu membuat segelintir elite memiliki ruang buat diperlakukan secara lebih istimewa, segelintir tokoh elite memiliki nama yang dikenal publik. Karena itu, ada pihak yang memanfaatkan tokoh tersebut untuk ditunggangi guna mendapatkan suara di pemilu.

Faktor penyebab yang ketiga adalah biaya politik yang terlalu mahal. Akibatnya hanya segelintir orang saja yang bisa membiayai proses kampanye. Karena itu, lembaga politik hanya diisi oleh kelompok orang tertentu saja.

Kemudian faktor keempat adalah upaya perubahan dan transisi ke rezim politik di internal partai politik tidak berjalan dengan baik. “Tidak bekerjanya merit system (manajemen sumber daya manusia) dan kaderisasi, misalnya, membuat ruang bagi masuk dan naiknya orang diluar lingkaran (dinasti politik) menjadi sangat sempit.

Selain itu, pendidikan politik yang belum berjalan juga membuat orang umum tidak memahami demokrasi. Akibatnya, demokrasi diisi segelintir tokoh elite dan keluarganya saja.

Lalu apa alasan masyarakat memilih capres-cawapres dari dinasti politik?, alasannya karena menurut survey elektabilitas tokoh tersebut tinggi,padahal bukan itu tapi yang membuat mereka terpilih ya karena peraturan pemilu kita yang permisif (Terbuka serba boleh), sistem politik dan sistem pemilu tidak bekerja dengan baik, sementara penegakan hukum pemilu nya lemah, ditambah lagi masyarakat kita cenderung menerima saja calon-calon yang ada. Mereka tidak cukup kritis memahami gejala dinasti politik yang hadir di tengah pemilu.

Kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) yang bekerja kurang optimal untuk menghalau dinasti politik, karena kita ini demokrasi yang berbasis parpol tapi demokrasi di parpol sendiri tidak ada atau tidak berjalan, ujar Halili Hasan.

Kembali ke masalah dinasti politik dan politik dinasti, menurut Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Lusi Andriyani, M.Si., menjelaskan,
kedua hak ini tidak memiliki perbedaan yang mencolok, sama-sama melibatkan keluarga, kerabat, ataupun saudara, namun hal yang perlu diperhatikan adalah soal kompetensi bakal calonnya sendiri.

“Dua konsep ini memang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Keduanya sama-sama melakukan regenerasi dan reproduksi. Regenerasi itu diperbolehkan, misal kita mempunyai anak yang kelak diarahkan ke kompetensi yang sama. Tetapi, kalau mereproduksi itu ada kesan memaksakan, ketika ada satu keluarga tidak memiliki kompetensi yang sesuai namun dipaksakan menjadi capres/cawapres demi hanya untuk melanggengkan kekuasaan, kesan memaksa ini yang akhirnya membuat publik mengkritisi hal itu.

Akan tetapi, kedua konsep tersebut sah-sah saja. Pelarangan terhadap seseorang untuk mencalonkan yang mempunyai hak untuk dipilih juga melanggar hak politik sehingga bertentangan dengan asas demokrasi.

Selain itu ada juga yang menarik untuk diikuti ditengah ramainya perbincangan mengenai dinasti politik dan politik dinasti, akhir-akhir ini, muncul istilah baru yaitu politik lampu sein.

Keluarnya Cak Imin dari Koalisi Indonesia Maju dan memutuskan berduet dengan Anies Baswedan diibaratkan seakan-akan Cak Imin berbelok tanpa memberi lampu sein.

“Ya, kalau lampunya mati, mbok ngasih kode tangan. Ini belok enggak ngasih-ngasih sein,” kata Zulkipli Hasan dalam sambutannya di acara Peningkatan Kapasitas Politik Anggota dan Caleg PAN Kalimantan Barat.

Belokan Cak Imin bersama Anies Baswedan tanpa memasang lampu sein ini ternyata untuk sementara mampu mengungguli kecepatannya dari pasangan yang lain, pasangan ini merupakan pasangan yang pertama kali melakukan deklarasi Capres/Cawapres dan mengumumkannya ke publik, juga pasangan yang pertama kali saat mendaftarkan Capres/Cawapres ke kantor KPU. Apakah keunggulan ini mampu di pertahankan sampai pelaksanaan Pilpres nanti?,kalau bisa, kemungkinan ini pertanda bahwa pasangan ini adalah yang paling siap untuk berkompetisi dan akan terus melaju memimpin balapan Pilpres ini walau tanpa memasang lampu sein nya.

Sementara dipojok pasangan yang lain kalau kita mengutip cuplikan berita dari media online “detik” tanggal 24 Oktober 2023 diberitakan bahwa , PDI Perjuangan dan relawan Ganjar tak lagi memperdulikan Jokowi. Hubungan mereka saat ini kian renggang karena tindakan Jokowi dan Gibran yang menjurus dukungannya kepada Prabowo Subianto di Pilpres 2024.

Disusul lagi dengan pernyataan politikus PDI Perjuangan Aria Bima , ia mengaku kecewa jika Jokowi dan Gibran mendukung Prabowo Subianto. Sebelumnya dia mengaku tak percaya kalau Jokowi dan Gibran akan memberikan dukungannya kepada Prabowo, karena mereka berdua merupakan kader dari partai PDIP.

Menanggapi hal ini seorang pengamat politik, Rocky gerung mengatakan, manuver yang dilakukan oleh pak Jokowi ini ibarat emak-emak sedang naik motor kemudian memasang lampu seinnya kekiri tapi ia malah berbelok kearah kanan, akibatnya pengendara lain yang berada didepan dan dibelakangnya menjadi kebingungan akhirnya terjadilah tabrakan kecelakaan lalu lintas.

Pertanyaannya apakah pada pilpres 2024 nanti akan terjadi juga tabrakan kecelakaan lalu lintas antar partai politik?, kita tunggu saja nanti sedahsyat apa tabrakan itu akan terjadi.

Share :

Baca Juga

Headline

Sekda Radmida Sidak Pasar Murah

Bangka Belitung

Bupati Apagfri Deklarasikan Desa Bebas Narkoba se-Bangka Tengah

Bangka Belitung

Ada Anggota DPR Bermain dan Nanya Proyek? Ini Kata Guru besar Ilmu Politik dan Sosial UBB

Bangka Belitung

Bupati Algafry Hadiri Peringatan Hari Bakti PU ke 78 Tahun 2023

Bangka Belitung

Pj Gubernur dan DPRD Duduk Bersama Cari Solusi Tingkatkan PAD Babel

Berita

Melanggar Kode Etik, Ini Alasan Enam ASN Basel Dipecat !!!

Berita

Wali Kota Molen Hadiri Buka Bersama Di Kampung Halaman Sang Ayah

Bangka Belitung

Kampung Dongeng Babel Gelar Diskusi Berbagi Praktik Baik Komunitas Literasi